Penemu Suplemen Ikan
Gabus, Prof. DR. dr. Nurpudji Astuti Taslim,
MPH, SpGK
Menghemat Sepuluh
Persen Biaya Infus
Oleh: Aswad Syam
INFUS
pasien yang
kadar albuminnya rendah, menelan biaya yang tidak sedikit yakni sekitar Rp1,4
juta. Karenanya, jagalah, agar kadar albumin normal pada kisaran antara 3,5 –
4,5. Guru Besar Universitas Hasanuddin,
Prof. DR. dr. Nurpudji Astuti, mengaku sangat perihatin atas hal tersebut.
Dia pun berupaya menemukan bahan lain untuk meningkatkan kadar albumin, dengan
biaya yang tidak mencekik leher.
Ikan gabus pun menjadi pilihan, karena mudah didapat, dan harganya juga murah.
PADA ujicoba pertama, ahli gizi itu
memberikan masakan ikan gabus kepada pasien di RS Wahidin Sudirohusodo,
Makassar. Berhasil. Kadar albumin pasien meningkat. Kini, ekstrak ikan gabus
telah dikemas dalam bentuk kapsul, dengan harga Rp 7000 perkapsul.
Dua kapsul diminum tiga kali
sehari. Sama dengan enam kapsul, sama dengan Rp 42 ribu setiap hari. Kalau
kapsul harus diminum selama sepuluh hari, jumlah seluruh biaya adalah 10 x Rp
42 ribu atau sama dengan Rp 420 ribu. Bandingkan dengan biaya infus yang
sebesar Rp 4,2 juta. Suprise, kita bisa menghemat 90 persen.
Dengan nomor publikasi 047.137.A,
tertanggal 8 Maret 2008, Departemen Kehakiman telah mengumumkan permohonan paten
yang telah didaftarkan Prof. DR. dr. Nurpudji Astuti dengan nomor P00200600144,
dengan judul produk Konsentrat Protein Ikan Gabus.
Untuk lebih menguji kehandalan
suplemen makanan itu, kapsul tersebut dikirim Prof. DR. dr. Nurpudji Astuti ke
rekan-rekan dokter di Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, dengan sebuah
pesan, “Berikan kepada pasien gula, patah tulang, TBC, stroke dan gizi buruk”.
Hasilnya? Pasien lebih cepat sembuh, kondisi juga menjadi lebih baik.
Bagi sebagian orang, ikan gabus
tak masuk hitungan lauk favorit. Untuk nelayan pun ikan gabus dianggap kurang
bernilai ekonomis. Namun, di tangan Prof. DR. dr. Nurpudji Astuti, ikan ini
memiliki nilai tambah.
Ikan yang tak disukai karena
baunya yang amis ini, dia “sulap” menjadi suplemen makanan yang berfungsi menjaga
metabolisme tubuh, menaikkan kadar albumin, dan mempercepat pemulihan
kesehatan. Ikan gabus diracik sedemikian rupa, dibuat serbuk, kemudian
dimasukkan dalam kapsul. Bau amis ikan yang tak disukai itu pun hilang dan tak
terasa lagi.
Hampir semua pasien berkadar
albumin rendah yang diberi suplemen dari ikan gabus ini, kadar albuminnya naik lebih
cepat ketimbang pemberian albumin lewat infus. Bahkan, pasien berkadar
albumin rendah yang diikuti komplikasi penyakit lain seperti TB,
diabetes, patah tulang, stroke, hingga HIV/AIDS, kondisinya bisa lebih
baik dengan pemberian kapsul ikan gabus.
Pada anak dengan gizi buruk dan
berat badannya kurang,
pemberian biskuit dari bubuk ikan gabus, membuat berat badan mereka naik
minimal 1 kilogram perbulan. Maka, bersama kader posyandu, petugas puskesmas
dan rumah sakit yang merawat anak bergizi buruk, Nurpudji memberikan biskuit
ikan gabus secara rutin.
Ibu hamil kurang gizi juga diberi kapsul ikan gabus
untuk asupan protein dan zat besi yang diperlukan selama masa kehamilan agar
bayi yang dilahirkan lebih sehat. Prof. DR. dr. Nurpudji Astuti memandang,
albumin dalam tubuh sebagai indikasi mortalitas, morbiditas, dan metabolisme
tubuh. Albumin juga berfungsi mempertahankan regulasi cairan dalam tubuh.
Bila kadarnya rendah, protein
yang masuk ke dalam tubuh akan pecah, dan tak bisa berfungsi sebagaimana
mestinya. Bahkan, penyerapan obat-obatan yang seharusnya berfungsi
menyembuhkan, tak akan maksimal.
Oleh karena itu, pasien berkadar
albumin rendah diberi infus untuk menaikkan kadar albuminnya. Namun, infus itu
biayanya mahal, Rp 1,4 juta setiap pemberian. Ini pun minimal harus diberikan
tiga kali. Untuk pasien tak mampu, ini memberatkan.
Kondisi tersebut membuat ibu tiga
anak ini berusaha mencari bahan lain untuk menaikkan kadar albumin dengan harga
terjangkau. Ahli gizi yang melakukan banyak penelitian ini pun sampai pada ikan
gabus yang mengandung kadar albumin tinggi. Ikan gabus dipilih juga karena
relatif mudah didapat dan harganya murah.
Dalam percobaan pertama, Prof. DR. dr. Nurpudji Astuti
memberi masakan ikan gabus kepada pasien di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo,
Makassar, Sulawesi Selatan. Ikan gabus dalam bentuk makanan ini berhasil
menaikkan kadar albumin. Tetapi, jumlah petugas dapur di rumah sakit kurang.
Kalaupun ada, mereka kewalahan meracik ikan gabus, apalagi dengan komposisi
yang dianjurkan.
“Saya mencoba membuat cairan,
lalu dimasukkan melalui selang makanan. Ini pun berhasil, tetapi banyak pasien
yang menolak baunya,” tutur Prof. DR. dr. Nurpudji Astuti.
Dia lalu mencari cara agar
pemberian ikan gabus bisa lebih mudah. Bersama beberapa rekannya, Prof. DR. dr.
Nurpudji Astuti melakukan percobaan membuat ekstrak ikan gabus dan
memasukkannya dalam kapsul. Cara ini berhasil karena pemberiannya lebih mudah,
dan pasien tak lagi menolak baunya.
Prof. DR. dr. Nurpudji Astuti
sebenarnya meneliti ikan gabus sejak 1994. Pada 2003, Nurpudji mulai memberikan
cairan ikan gabus melalui selang makanan pada pasien di Rumah Sakit Wahidin.
Tahun 2004-2005, lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin ini membuat
ikan gabus dalam bentuk kapsul.
Untuk meyakinkan dan membuktikan
suplemen makanan yang dibuat itu bisa diterima di mana-mana, Prof. DR. dr. Nurpudji
Astuti mengirimkan kapsul tersebut kepada rekan dokter di berbagai daerah
seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jakarta.
“Saya minta mereka memberikannya
kepada pasien dengan beragam penyakit seperti luka patah tulang, stroke, gula,
TB, atau gizi buruk.
Hasilnya, pemberian suplemen makanan ini membuat pasien sembuh lebih cepat, dan
kondisinya menjadi lebih baik,” paparnya. (asw)
sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar